Pak Tua Penjual Kandang Ayam By Dimas Budi Prasetyo


PAK TUA PENJUAL KANDANG AYAM

Terik panas matahari pukul dua membelai kulit. Tinggal di Eropa membuatku mengerti, mengapa bule suka berjemur. Dan, hal itu yang membuatku sedikit sombong dengan hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna hijau.

Pak Tual Penjual Kandang Ayam

Mengendarai motor tanpa helm, seperti jagoan kemarin sore yang tidak takut kena semprit Pak Polisi. Aku baru sadar, alasan orang bisa disiplin berkendara itu karena lingkungan dan aturan yang mendukung.

Berkendara di Eropa membuatku jadi orang yang taat aturan dan kalem. Kembali ke Indonesia, yowes ngunu kuwi.
Dari kejauhan, aku melihat terseok-seok orang menarik sebuah gerobak. Semakin dekat, aku bisa membaca tulisan yang tertera di bagian belakang gerobak: Jual Kandang Ayam.

Aku melintasinya, kemudian melirik pada sosok yang menjadi “pengemudi” gerobak tersebut. Seorang lelaki sepuh.
Sejurus kemudian, aku memutuskan menghentikan motor matik dan parkir di seberang jalan.

“Nyuwun sewu, permisi, Pak. Saya boleh minta waktunya sebentar?” sapaku kepada lelaki itu.

“Mau beli kandang ayamnya, Mas?” balas beliau.

“Nggih, Pak.” Kemudian aku membantu Pak Tua itu meminggirkan gerobak agar tidak menimbulkan kepadatan kendaraan.

Jalan Ranugrati, menjelang pintu masuk Sawojajar memang padat kendaraan. Beliau yang menarik gerobak pelan-pelan, memang sedikit menghambat laju kendaraan di belakangnya.

“Berapa ini kandang ayamnya, Pak?”

“100 ribu saja, Mas. Bisa kurang.”

Belum apa-apa, Pak Tua ini sudah dengan berani menurunkan harga.

“Panjenengan cuma menjual satu kandang ini saja, nggih?”

“Iya, Mas. Sudah tua, tidak kuat jika harus membawa lebih dari satu kandang.”

“Usia panjenengan berapa?” tanyaku untuk menuntaskan rasa penasaran.

“92 tahun, Mas.”

Aku terkejut. Tidak kuduga usia Pak Tua ini begitu senja. Sebelumnya aku menaksir, usia beliau sekitar berada di akhir 70 atau awal 80.

“MasyaAllah. Panjenengan masih kuat, nggih.”

“Alhamdulilllah,” sahut beliau dengan suara pelan tapi terdengar jelas.

Kami berkomunikasi dengan Bahasa Jawa halus, karena pada saat awal mengajak beliau berbahasa Indonesia, beliau tampak kurang nyambung.

“Panjenengan bawa minum, Pak? Saya belikan minum sebentar, nggih.”

“Sudah tidak perlu, Mas. Saya sudah membawa dari rumah. Sampeyan rumahnya mana?” tanya beliau ramah.

“Sawojajar, Pak. Panjenengan dimana? Tidak apa-apa saya minta waktunya untuk ngobrol sebentar?”

“Cemorokandang, Mas. Nggih, monggo.”

“Tinggal dengan siapa, Pak? Punya putra apa tidak?”

“Saya tinggal sendiri, Mas. Istri sudah lama meninggal. Anak-anak ada empat dan semuanya tinggal di luar Malang.

Mereka jarang nengok saya, karena hidup mereka juga sama seperti bapaknya. Susah.” Beliau tanpa diminta berbicara panjang lebar.

“Sudah tua begini, saya sudah tidak berharap apa-apa, Mas. Yang penting bisa ibadah dan diberi kesehatan saja sudah cukup. Anak-anak tidak menengok juga saya maklum.”

Aku berusaha menahan air mata yang seperti ingin keluar tanpa izin. Aku segera mengalihkan arah pembicaraan, takut semakin terbawa suasana.

“Panjenengan mulai berkeliling berjualan jam berapa, Pak?”

“Jam 6 pagi, Mas. Pulangnya jam segini, entah laku atau tidak.”

Aku tidak perlu bertanya apakah dagangan beliau laku atau tidak. Dengan hanya membawa satu kandang ayam dan aku masih melihatnya, sudah menjelaskan itu semua.

“Pak, ngapunten, mohon maaf sekali, saya ingin membeli kandang ayamnya, tetapi dengan syarat.”

“Bagaimana, Mas?”

“Saya beli kandang ayamnya, tapi saya minta panjenengan bawa saja kandangnya. Saya tidak bisa membawanya, jadi titip panjenengan bawa saja. Nanti barangkali ada orang yang mencari kandang ayam dan menawar dagangan panjenengan, dikasih saja. Ini uangnya,” ujarku sambil mengeluarkan uang sebesar nilai kandang ayam.

Aku memahami, orang dengan etos kerja seperti beliau ini, adalah tipe orang yang tidak mau begitu saja menerima uluran tangan. Membeli dagangannya, adalah bagian dari sebuah apresiasi atas yang sudah beliau kerjakan.
Beliau tersenyum lebar.

“Matur nuwun, terima kasih, Mas. Akhirnya setelah berhari-hari dagangan saya laku.”

Kali ini, air mata melawan tuannya. Keluar tanpa bisa dibendung. Aku dengan cepat mengusap dan menunduk, kemudian memegang tangan beliau erat. Tangan yang jelas sekali gurat kerutannya. Juga, tangan yang kasar dan hitam terbakar sinar matahari.

Sebuah tangan yang seperti dikatakan Baginda Nabi, sebagi tangan yang kelak akan terbebas dari api neraka. Tangan yang digunakan untuk mencari nafkah halal dan berkah.

“Saya minta doanya, nggih, Pak. Saya minta doanya.” Aku mengucapkan kalimat itu berulang.

“Nggih, Mas. Barokah buat sampeyan dan keluarga. Rezekinya lancar.”

“Ngapunten, mohon maaf, saya izin mengambil gambar panjenengan, nggih, Pak,” ujarku pelan.
Beliau tampak bingung. Kemudian dengan ragu-ragu menjawab, “Monggo, Mas.”

Aku segera menutup pembicaraan. Perjalanan beliau untuk sampai rumah masih cukup jauh. Beliau mengatakan, selalu ingin tiba di rumah ketika waktu ashar, agar bisa persiapan salat jamaah Maghrib dan Isya di masjid dekat rumah.

“Assalamualaikum, Mas.” Beliau pamit dan kembali mengayunkan langkah.

Aku menatap kembali gerobak itu. Dari belakang, tidak tampak badan beliau karena tertutup kandang ayam yang berukuran cukup besar.

Mataku mengikuti saat beliau berpapasan dengan sosok pengemis. Lelaki yang mungkin usianya tidak setengah usia Pak Tua itu. Berbadan sehat, tetapi memilih menggunakan itu untuk sekadar mengemis.

Sebuah pemandangan yang amat kontras.

Saat ini, banyak fenomena orang ingin mencari uang dengan cara cepat dan minim usaha. Menipu, korupsi, tidak memaksimalkan dengan baik yang sudah Tuhan berikan, dan masih banyak hal lain.

Dan, kehadiran Pak Tua ini seperti sebuah oase di tengah kondisi tersebut.

Ah, tapi tidak, aku yakin masih banyak Pak Tua-Pak Tua lain yang mencari nafkah dengan cara yang baik, hanya saja aku saja yang mainnya kurang jauh.

Tapi aku yakin, orang-orang seperti Pak Tua ini kelak akan mendapat tempat yang baik di sisi-Nya. Tempat para pejuah nafkah yang tetap bertahan mencari rezeki halal dan barokah.

Pak Tua, jika kelak kau sudah masuk dan menikmati indah surga-Nya, semoga kau sudi dan berkenan mengingatku, sesuai nasihat yang diberikan oleh Hasan Al-Bashri:

“Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.” (Ma’alimut Tanzil 4/268)
Malang, 13 Mei 2022.

Edited:
Terima kasih banyak respon yang baik dari teman-teman atas tulisan ini. Silakan untuk membantu share tulisan ini jika dirasa ada manfaatnya. Terima kasih

 

Cek Informasi Teknologi dan Artikel yang lain di Google News Alwepo.com

Page:
...
/
0
Please Wait
...
Second
Code:
Close