Inilah Alasan Kenapa Pabrik Kelapa Sawit Tidak Mau Menjual CPO Di Dalam Negeri? Dan Kenapa Memilih Ekspor CPO?


alwepo.com – Target pemerintah terhadap harga minyak goreng adalah jika harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng Rp. 14.000 / Liter.

Dengan harga Rp. 14.000/liter, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pabrik pengolahan minyak goreng di Indonesia mau menjual atau mengolah CPO sendiri untuk kebutuhan dalam negeri? 

Dengan tuntutan kemampuan produksi dan stok dari CPO yang di hasilkan Indonesia sendiri sangatlah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri, tetapi ada satu alasan kenapa para pelaku usaha CPO atau Pabrik Kelapa Sawit enggan menjual di negeri sendiri?

Inilah Alasan Kenapa Pabrik Kelapa Sawit Tidak Mau Menjual CPO Di Dalam Negeri? Dan Kenapa Memilih Ekspor CPO?

Alasan terbesarnya adalah Apakah Menguntungkan Menjual Minyak Goreng dengan harga Rp. 14.000/Liter? dan Apakah Menguntungkan Menjual CPO Di Dalam Negeri?

Kedua Pertanyaan tersebut sangat sederhana dan sangat mendalam tentunya.

Paska pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya, berbagai komentar sering dilontarkan di media massa. Beragam komentar silih berganti, menjadi ritme dan dinamika dalam mengomentari kebijakan Presiden Jokowi menghentikan izin ekspor CPO dan produk turunannya. Bahkan, beragam berita penangkapan, para pelaku kejahatan ekspor minyak goreng ilegal, juga ikut meramaikan media massa nasional.

Kenapa hal ini terus terjadi? Pasalnya keberadaan CPO dan produk turunannya memang sudah menjadi primadona pasar global. Sejak penggunaan lahan yang efisien, dengan produktivitas hasil panen jauh melampaui minyak nabati lainnya, minyak sawit menjadi primadona utama sebagai minyak nabati yang paling disukai masyarakat dunia termasuk Indonesia.

 

Produksi CPO Terhenti?

Sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO), tentunya kebutuhan pasar global akan terpenuhi dari produksi berkelanjutan yang dilakukan perkebunan kelapa sawit. Terutama petani kelapa sawit, yang kehidupannya bergantung dari penjualan hasil panennya. Secara proses, Tandan Buah Segar (TBS) sawit milik petani yang setiap hari dipanen, selalu dijual ke Pabrik kelapa Sawit (PKS) dan hasilnya ditampung sementara kedalam tangki penyimpanan (storage tank CPO). Proses produksi CPO berlangsung setiap harinya, hasilnya dijual ke pabrik minyak goreng dan pedagang ekspor CPO ke luar negeri.

Lantaran pabrik minyak goreng sawit dan pedagang ekspor CPO tidak dapat melakukan aktivitas jualan ekspor, maka jalur pasar PKS tertutup, sehingga penjualan CPO dari PKS mengalami penurunan drastis. Akibatnya, produksi PKS menurun dan pembelian TBS milik petani kelapa sawit juga mengalami penurunan hingga penghentian sementara.

 

Sebagai seorang pengusaha

CPO tentu kita tidak ingin rugi dan tentu menginginkan keuntungan yang besar, permintaan akan minyak goreng global sangatlah besar. Nilai ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPOIndonesia melonjak 54,61% menjadi US$28,52 miliar pada 2021 dari tahun sebelumnya. Sementara volume ekspornya justru turun tipis 1,57% menjadi 26,9 juta ton sepanjang tahun lalu dibanding tahun sebelumnya. (databooks.katadata.co.id). Dengan data itu terlihat peminat CPO dan produk turunannya sangatlah tinggi terutama di kawasan ASEAN sendiri rata-rata menggunakan Minyak goreng dari Kelapa Sawit untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Jika di jual ke luar neger (ekspor) dengan harga yang tinggi tentu akan sangat menguntungkan di bandingkan dengan di olah sendiri atau di jual di dalam negeri, apalagi jika produk minyak goreng hanya di jual dengan harga Rp. 14.000/liter. Kembali lagi ke pertanyaan di atas “Apakah Menguntungkan?” 

 

Sebagai Pemerintah, Subsidi sebagai solusi?

Benarkah subsidi pemerintah sebagai solusi, coba kita perhatikan, Produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2021 tercatat sebanyak 47 juta ton lebih. Apabila diasumsikan produksi Tandan Buah Segar (TBS) sawit dari Perkebunan Negara (PTPN) mencapai 4% dari total nasional, maka hasil panen TBS sawit bisa digunakan untuk memproduksi minyak goreng nasional. Terlebih menurut praktisi senior Bisnis Minyak Sawit Indonesia, Maruli Gultom, kebutuhan minyak goreng sawit nasional mencapai 200 juta liter atau sekitar 160 ribu ton CPO per bulan.

“Solusi terbaik dari kebutuhan minyak goreng nasional, bisa menggunakan CPO yang dihasilkan dari PTPN sebagai milik negara,”

lebih lanjut tutur Maruli, hasil CPO dari perusahaan milik negara ini, seharusnya jadi prioritas pemerintah untuk digunakan seluruhnya demi kepentingan rakyat Indonesia.

“Kalau produksi TBS dan CPO dari PTPN masih kurang untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional, maka pemerintah bisa membeli TBS sawit petani yang produksinya sebesar 41% dari total produksi CPO nasional,” jelas Maruli menerangkan.

Berdasarkan penelusuran redaksi infosawitdotcom, pemasaran hasil CPO milik PTPN melalui kantor pemasaran bersama milik pemerintah juga (KPBN), yang menjual CPO dengan cara lelang. Sesuai asumsi ketika penerapan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) beberapa waktu lalu, seharusnya harga CPO sebesar Rp. 9.000/kg supaya diolah menjadi minyak goreng sawit dengan harga jual Rp. 14.000/liter. Sayangnya, KPBN masih menjual CPO berdasarkan harga patokan ekspor yang besarannya lebih dari Rp. 13.000/kg

Merujuk perintah Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erik Tohir, Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat Indonesia demi mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau. “Pemerintah mengutamakan kebutuhan pokok masyarakat luas untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau, ” kata Presiden Jokowi saat mengumumkan larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya (27/4/2022).

Berdasarkan informasi dari KPBN, perdagangan CPO, pada 13 Mei 2022, sebagai berikut:

Tender  KPBN,  (Rp./Kg), Excld PPN

CPO

Belawan & Dumai Rp.13889-INL;

Siak Rp.13839 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12260-IBP;

T.Duku Rp.13789 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12400-EUP;

T.Bayur  Rp.13789 (WD). Penawaran tertinggi Rp.12290-WIRA;

Palopo Rp.13689 (WD). Penawaran tertinggi Rp.11700-EUP;

CPKO

Palembang Rp.18636 (WD). Penawaran tertinggi Rp.17200-UNILEVER;

Lampung Rp.18493 (WD). Penawaran Rp.16000-AMJP

Merujuk ke perdagangan KPBN milik perusahaan negara ini, menurut pengamat sawit nasional, Ignatius Ery Kurniawan, akan berdampak sulitnya harga jual minyak goreng mencapai harga Rp. 14.000/liter. Lantaran harga CPO masih seharga lebih dari Rp. 13.000/kg. Jika Pemerintah Indonesia serius, harusnya penugasan diberikan kepada PTPN untuk menyuplai kebutuhan CPO sesuai dengan harga waktu DMO sekitar Rp. 9.000/kg. Dengan tersedianya CPO murah, maka produksi minyak goreng sawit akan cepat turun dengan harga jual sebesar Rp. 14.000/liter.

“Perusahaan negara khususnya PTPN harus mulai menyediakan kebutuhan CPO untuk pasar domestik sesuai instruksi Presiden Jokowi, jangan malah mencari untung sendiri dan mengorbankan petani kelapa sawit, ” Kata Ery yang pernah menjabat sebagai Sekretaris III Dewan Minyak Sawit Indonesia periode 2009 lalu.

Pentingnya ketersediaan CPO dengan harga murah, menjadi syarat utama bagi produksi minyak goreng dengan harga murah dan terjangkau seluruh rakyat Indonesia. Lebih jauh, pemerintah bisa memberikan penugasan khusus kepada PTPN sebagai penyedia CPO dan BPDPKS sebagai pendanaan subsidi selisih harganya. “Jika masih kurang, bisa membeli TBS milik petani dengan harga yang wajar dan subsidi ditanggung dana BPDPKS juga, ” Ujar Ery.

Adanya good governance dengan aturan yang bagus dan mengikat, akan mendorong pemenuhan minyak goreng dengan harga terjangkau seperti Instruksi Presiden Jokowi. “Harus ada keinginan kuat dan fokus kepada kebutuhan pokok rakyat Indonesia terlebih dahulu, ” Kata Ery menyarankan kepada Perusahaan Negara.

Sebab itu, tata kelola perdagangan bersumber dari pasokan minyak goreng yang bisa didapatkan dengan harga murah, baru rantai pasok perdagangan bisa diatur sampai masyarakat luas, sesuai dengan harga Rp. 14.000/liter.

“Jangan menunda-nunda untuk memasok CPO dengan harga murah untuk produksi minyak goreng bagi rakyat Indonesia”, ujar Ery, lebih lanjut” Perusahaan negara milik rakyat juga, jadi harus mampu memenuhi kebutuhan rakyat”

 

Sebagai Petani

Sebagai petani kelapa sawit tentu menginginkan harta TBS (tandan buah segar) selalu tinggi, apalagi dengan harga yang sempat mencapai Rp. 3.500/Kg. Harga tersebut seperti mendapatkan segepok emas bagi para petani, Pasalnya dengan harga segitu tentu akan dapat mensejahterakan banyak petani sawit di negeri ini.

Cek Informasi Teknologi dan Artikel yang lain di Google News Alwepo.com

Page:
...
/
0
Please Wait
...
Second
Code:
Close