alwepo.com, Kelangkaan minyak goreng di kalangan masyarakat sudah tidak ada lagi, terlihat dari data sebelum, saat dan setelah Idul Fitri. Namun larangan ekspor CPO dan produk turunannya masih belum di cabut oleh pemerintah lantaran HET (Harga Eceran Tertinggi) masih belum mencapai Rp. 14.000/liter seperti target pemerintah.
Disisi lain, kondisi ini juga mempengaruhi pengusaha sektor Kelapa Sawit, mulai dari petani sawit, pabrik kelapa sawit hingga berdampak pada negara target ekspor Indonesia. Kondisi ini perlu di pertimbangkan oleh Pemerintah lantaran data-data lainnya seperti inflasi dan melemahnya Rupiah terhadap dolar.
Sejumlah indikator makro ekonomi Indonesia melemah pada periode April dan Mei tahun ini. Cadangan devisa nasional turun dan nilai tukar rupiah mulai melemah terhadap dolar AS. Selain sebagai dampak kontraksi valuta asing karena kenaikan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve, juga karena melemahnya kinerja ekspor pasca pelarangan ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan produk turunannya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2022 adalah sebesar USD135,7 miliar, atau menurun dibandingkan posisi pada akhir Maret 2022 sebesar USD139,1 miliar.
Sementara itu, pekan lalu, kurs rupiah melemah tipis 0,1% ke posisi Rp14.612 per dolar AS. Tren melemahnya kurs rupiah diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa pekan ke depan.
Para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit mendesak pemerintah untuk mengevaluasi larangan CPO dan produk turunan minyak sawit termasuk olein (minyak goreng). Sebab kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap para petani sawit.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pascaditerapkannya kebijakan tersebut, pabrik kelapa sawit (PKS) mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS. “Petani sawit saat ini kesulitan menjual TBSnya. Sudah sulit jual TBS, harganya pun murah,” kata Tungkot di Jakarta, Minggu (15/5/2022).
Menurut Tungkot, petani sawit di Indonesia sekarang ini ada sekitaran 2,tiga juta kepala keluarga. Mereka mengolah sekitaran 6,delapan juta hektar (ha) kebun sawit. “Mereka yang rasakan kesusahan pasarkan TBS,” ucapnya.
Karenanya, lanjut Tungkot, implementasi ketentuan larangan export itu tidak boleh kelamaan. Karena jika lama, peraturan itu akan berpengaruh jelek untuk petani sawit sekurang-kurangnya sampai 2 tahun di depan.
“Harga TBS turun hingga beberapa petani tidak mampu beli pupuk. Apa lagi sekarang ini pupuk mahal. Karena tidak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini efeknya dapat sampai 2 tahun,” ucapnya.
Diketahui, kebijakan larangan ekspor ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Dalam beleid itu, eksportir dilarang sementara melakukan ekspor minyak goreng beserta beberapa bahan bakunya.
Aturan yang berlaku mulai 28 April 2022 ini, akan dievaluasi secara periodik melalui rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian setiap bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Menurut Tungkot, saat ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Sebab faktanya seluruh produsen TBS kesulitan menjual TBSnya. Apalagi selama Permendag No 22 Tahun 2022 tersebut diterapkan tidak terjadi penurunan harga minyak goreng secara signifikan.
“Artinya, pelarangan ekspor ini bukan cara yang tepat untuk membuat harga minyak goreng di dalam negeri murah,” tukas Tungkot. Bahkan, selama ada pelarangan ekspor, malah terjadi penyelundupan minyak goreng ke luar negeri. “Jadi kebijakan ini tidak efektif,” katanya.
Menurut Tungkot, kebijakan yang efektif yakni distribusi minyak goreng subsidi yang sedang dilakukan Perum Bulog. Bulog turun tangan mendistribusikan minyak goreng dengan harga Rp14.000 per liter.
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Wayan Supadno mengungkapkan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng berdampak serius kepada petani sawit.
Dia menjelaskan, total produksi CPO nasional pada 2021 sebanyak 52 juta ton. Di mana dari total produksi tersebut, sekitar 34 juta ton (64%) diekspor, sedangkan yang 18 juta ton (36%) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, energi maupun oleochemical.
Mengingat yang 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, tentu CPO tersebut tidak punya pasar. “Karena tidak punya pasar, PKS tidak sudi memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani,” kata Wayan Supadno.
Mengakibatkan, di beberapa wilayah petani tidak memetik TBSnya. Karena kalaulah toh dipanen, harga benar-benar rendah. Bumerang untuk petani sawit. TBS yang tidak dipanen itu bisa menjadi berkembangbiaknya jamur yang menghancurkan pohon sawit tersebut.
“Jadi sawit itu penting hukumnya dipanen pada pohon yang serupa tiap 15 hari sekali. Bila tidak dipanen, maka jadi bumerang, karena akan mengakibatkan penyakit pada pohon sawit tersebut. Ini permasalahan serius yang kami rasakan,” kata Wayan.
Wayan Supadno bercerita sebelumnya ada larangan export CPO dan minyak goreng, harga TBS pada tingkat petani Rp3.800 per kg. Tetapi sekarang ini harga anjlog bervariatif. Ada PKS yang siap beli TBS petani Rp2.000 per kg, tetapi ada yang beli Rp1.500, bahkan juga ada yang dibeli Rp500 per kg.
Bervariatifnya harga TBS petani ini, kata Wayan Supadno, lebih karena keadaan PKS tersebut. Bila PKS itu mempunyai pasar dalam negeri, karena itu ia berani beli pada harga di range Rp2.000 per kg. Tetapi jika PKS itu fokus export, karena itu ia cuma berani beli TBS pada harga yang rendah.
Leave a Reply
View Comments